Kebumen dari Masa ke Masa Part 2
Hari ini kembali melanjutkan cerita saya yang kemarin sebagai bentuk oleh-oleh inspirasi dihari kedua saya pulang kampung.
Cerita hari ini berbeda dengan hari kemarin yang menyoroti tentang perubahan sosial masyarakat kabupaten Kebumen (baca artikel sebelumnya). Terutama di desa kelahiranku (desa Ori Karang Malang)
Ditulisan saya yang kedua ini saya melihat dari sudut pandang secara geografis.
Setelah saya renungkan secara geografis kabupaten Kebumen yang memiliki 26 kecamatan dan luas 128.111,50 hektar atau 1.281,115 km membentang luas dari timur ke barat dan dari selatan ke utara diibaratkan sebuah mutiara yang diapit oleh susunan manik-manik yang indah.
Sebelah utara Kebumen adalah rangkaian pegunungan yang dipimpin oleh gunung Slamet, sebelah tenggara dan timur juga berjajar pegunungan-pegunungan yang dipimpin oleh gunung merbabu dan gunung sumbing. Sedangkan sebelah barat dan selatan dirangkai oleh perbukitan tinggi yang berakhir di sebelah selatan dengan lautan biru yang luas yang disebut dengan laut kidul, dan terkenal dengan pantai-pantainya yang indah mulai dari Menganti, logending, ayah, karang bolong, suwuk, puring sampai petanahan.
Lengkap sudah mutiara itu, sehingga tampak berkilau jika dilihat dari sudut manapun. Tanahnya yang subur (hitam kecoklatan dan mengandung banyak humus) menjadikan tanaman apapun di sini pasti akan tumbuh. Benarlah apa yang dikatakan oleh group musik koesplus tempo dulu " orang bilang tanah kita tanah syuga tongkat kayu dan batu jadi tanaman".
Bukan hanya itu danau dan sungai-sungai yang jernih menjadi panorama terindah di Kebumen danau yang indah itu dibangun dengan sebutan waduk Sempor. Lengkap dengan pegunungan, anak-anak sungai, tempat wisata, pemancingan, dan pemandangan ijo royo-royo persis di sebelah utara Gombong Kebumen.
Namun terkadang hati bertanya-tanya, "kenapa desa yang indah, subur, udaranya bersih sejuk dan kaya akan wisata ini, banyak ditinggalkan?"
Tak banyak pemuda yang saya jumpai dikampung ini yang meneruskan, merawat dan memelihara kearifan lokalnya yang kental dengan nilai-nilai budaya yang luhur. Yang saya jumpai di sini hanyalah anak-anak kecil, usia SMP, usia SMU/SMK, lalu sisanya adalah para orang tua yang usianya di atas lima puluhan.
Lalu kemana mereka, usia muda yang harusnya bisa produktif di kampungnya?. Membangun kampung (mbangun deso) agar bisa maju. Ternyata mereka harus pergi meninggalkan kampungnya hanya demi sebuah harapan masa depan di kota-kota lainnya dengan kata lain mereka pergi ke rantau orang.
Bisa dibayangkan setiap tahun angkatan yang lulus mereka hanya punya harapan dan impian pergi ke perantauan hanya demi sebuah gengsi mencari kesuksesan. Padahal alam di desaku ini sudah menyediakan segalanya untuk mereka, sawah yang membentang luas, kebun yang luas dan rimbun, pasar yang strategis dipinggi desa dan tempat wisata yang tak terhitung.
Ternyata benar tradisi turun temurun sejak dulu 'selesai atau lulus sekolah harus merantau' masih melekat dibenak mereka. Walaupun tidak banyak yang sukses di kota dan akhirnya harus kembali ke desa. Salah satu buktinya dari sembilan saudaraku 4 orang harus pulang ke desa setelah bertahun-tahun mengadu nasib di kota.
Namun ternyata dari beberapa pemuda lainnya yang memilih untuk bertahan dan menetapkan di kampung ternyata bisa sukses dan makmur. Ternyata itu semua terletak pada kemauan, tekad, kerja keras, dan yang terpenting adalah jauhi gengsi (itu kata orang tua dulu)
Kakak saya Aris ternyata bisa sukses dengan berdagang dikampung setelah beberapa tahun merantau. Salah satu teman sekelasku bernama Subagyo, ia sukses menjadi pengusaha teralis di kampungku. Tetanggaku Rudi sukses menjadi juragan bata merah, tetanggaku Teguh dipinggir sawah sukses menjadi juragan jamur tiram dan berdagang.
Nah ternyata betul juga apa kata orang tua dulu "jangan gengsi", maksudnya memulai dari nol itu jangan gengsi sama pekerjaan dan profesi kita, yang penting dijalankan dengan tekun dan sabar, Insya Allah akan membuahkan hasil cepat ataupun lambat.
Melihat dari tulisan saya di atas, ternyata sukses itu adalah pilihan. Sukses tidak ditentukan kita ke kota atau tinggal di desa. Sukses itu adalah bagaimana kita mau berjuang, bekerja keras, ulet dan tentunya banyak bersyukur kepada Allah dengan memperbaiki ibadah dan memperbanyak sedekah.
Buat saudaraku mulailah sekarang berfikir bagaimana membangun desa, karena di desa semua sudah banyak disediakan dengan lengkap. Justru sebaiknya kita banyak bersyukur dengan kekayaan di kampung yang semuanya serba tersedia, sayur mayur, buah-buahan, padi, tanah, pasar dan lain-lain. [AgungTazka (Ori, 9 Maret 2021)]